Rabu, 13 Juli 2011

Sejarah Lokal





(Sejarah Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lokal
Dosen pengampu mata kuliah Drs. Sumarjono, M. si.



Oleh :
Nama : Firna Niahara
Nim : 100210302011



FAKULTAS KEGURAUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PENDIDIKAN SEJARAH
2011

KATA PENGANTAR
            Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan makalah yang berjudul “Sejarah Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat” ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lokal Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Jember.
            Penulis dalam menyelesaikan penulisan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen pembimbing untuk mata kuliah Sejarah Lokal.
            Penyusun berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya makalah ini.
            Penyusun menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah kelompok kami ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang berkompeten.

Jember, Juli 2011
Penyusun



DAFTAR ISI
   
HALAMAN 
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI 
BAB I. PENDAHULUAN   
1.1 Pendahuluan
1.2 Latar Belakang
1.3 Tujuan
1.4 Metode
BAB II Kajian Pustaka
            2.1 Kajian Pustaka
BAB III PEMBAHASAN
            3.1 Asal-Usul Nama Minangkabau
            3.2 Mengenai Nenek Moyang Masyarakat Minangkabau
            3.3 Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Minagkabau
                        3.3.1 Kehidupan masyarakat Pedagang Minangkabau
                        3.3.2 Kebudayaan Masyarakat Minangkabau
                        3.3.3 Sistem Matrilinial
                        3.3.4 Rumah Panggung Sebagai Artefak Kebudayaan
            3.4 Pendidikan Di Minangkabau
            3.5 Keagamaan Dalam Masyarakat Minagkabau
BAB III. PENUTUP 
            4.1 Kesimpulan 
DAFTAR PUSTAKA 
          

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang mempunyai khazanah budaya yang khas. Menurut De Josselin de Jong PE (1995, h.85), secara kultural orang Minang selalu menjadikan Adat Alam Minangkabau menjadi dasar bangunan kehidupan mereka. Adat biasanya dipahami sebagai suatu kebiasaan setempat yang mengatur interaksi masyarakat dalam suatu komunitas. Oleh orang Minang, adat yang merupakan kompleksitas dari kebiasaan, norma-norma, kepercayaan dan etika mempunyai arti ganda. Adat berarti kumpulan kebiasaan setempat, dan adat juga dianggap sebagai keseluruhan sistem struktural masyarakat.
            Dalam konteks ini, adat adalah seluruh sistem nilai, dasar dari keseluruhan penilaian etis dan hukum, dan juga dipahami sebagai sumber dan harapan sosial yang mewujudkan pola perilaku ideal. Berita dari tambo/ kisah (Navis 1994, h.45) dan cerita rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara samar mengenai hal ini. Di berbagai tulisan yang mengupas tentang sejarah Minangkabau, para pengkaji masih berbeda pandangan mengenai kapan munculnya komunitas Minang. Ada yang mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau itu sudah ada sejak 3.000 tahun yang lalu dan sejak saat itu pula masyarakatnya telah beradat. 
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Asal-Usul Nama Minangkabau?
2.      Bagaimana Nenek Moyang Masyarakat Minangkabau?
3.      Bagaimana Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Minangkabau?
4.      Bagaimana Pendidikan Di Minangkabau?
5.      Bagaimana Keagamaan Dalam Masyarakat Minagkabau?
1.3 Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Asal-Usul Nama Minangkabau
2.      Untuk Mengetahui Nenek Moyang Masyarakat Minangkabau
3.      Untuk Mengetahui Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Minangkabau
4.      Untuk Mengetahui Pendidikan Di Minangkabau
5.      Untuk mengetahui Keagamaan Dalam Masyarakat Minagkabau
1.4 Metode
            Metode yang digunakan dalam penelitian makalah ini metode Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan historigrafi.
1.         Mengumpulkan sumber yang diperlukan dalam penulisan ini merupakan pekerjaan pokok yang dapat dikatakan gampang-gampang susah, sehingga diperlukan kesabaran dari penulis. Menurut Notosusanto (1971:18) heuristic berasal dari bahasa Yunani Heuriskein artinya sama dengan to find yang baerati tidak hanya menemukan, tetapi mencari dahulu. Pada tahap ini, kegiatan diarahkan pada penjajakan, pencarian, dan pengumpulan sumber-sumber yang akan diteliti, baik yang terdapat dilokasi penelitian, temuan benda maupun sumber lisan. Dari beberapa sumber-suber yang didapat penulis mengunakan sumber-sumber tersebut untuk menunjang penelitian Sejarah Masyarakat Minagkabau Sumatera Barat. Beberapa sumber tersebut yaitu Abdullah.Taufik.1996.Sejarah Lokal Di Indonesia, Koentjaraningarat. 2002.MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA dan yang lain-lain.
2.         Kritik sumber mempunyai dua langkah yaitu intern dan extern. Pada tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada kegiatan heuristik yang berupa; buku-buku yang relevan dengan pembahasan  yan terkait, maupun hasil temuan dilapangan tentang bukti-bukti dilapangan tentang  pembahasan. Setelah bukti itu atau data itu ditemukan maka dilakukan penyaringan atau penyeleksian dengan mengacu pada prosedur yang ada, yakni sumber yang faktual dan orisinalnya terjamin.
3.         Setelah melalui tahapan kritik sumber, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh dari keuristik dan ktik sumber, buku-buku yang relevan dengan pembahasan, maupun hasil penelitian langsung dilapangan. Tahapan ini menuntut kehati-hatian dan integritas penulis untuk menghindari interpretasi yang subjektif terhadap fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, agar ditemukan kesimpulan atau gambaran sejarah yang ilmiah.
4.         Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dariseluruh rangkaian dari metode historis. Tahapan heuristik, kritik sumber,serta interpretasi, kemudian dielaborasi sehingga menghasilkan sebuah historiografi atau sebuah cerita.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
            Menurut De Josselin de Jong PE (1995, h.85), secara kultural orang Minang selalu menjadikan Adat Alam Minangkabau menjadi dasar bangunan kehidupan mereka. Adat biasanya dipahami sebagai suatu kebiasaan setempat yang mengatur interaksi masyarakat dalam suatu komunitas. Berita dari tambo/ kisah (Navis 1994, h.45) dan cerita rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara samar mengenai hal ini. Di berbagai tulisan yang mengupas tentang sejarah Minangkabau, para pengkaji masih berbeda pandangan mengenai kapan munculnya komunitas Minang. Ada yang mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau itu sudah ada sejak 3.000 tahun yang lalu dan sejak saat itu pula masyarakatnya telah beradat.
            Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Hal ini mungkin sesuatu yang umum saja, seperti ucapan ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunyaRasjid – 70: “On two things in life you cannot be objective: first, the love to your mother; secondly, the love to your country where you have been born” (Dalam dua hal Anda tak bisa objektif:  pertama, cinta kepada ibumu; kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu).
            Menurut De Josselin de Jong PE (1995, h.85), secara kultural orang Minang selalu menjadikanAdat Alam Minangkabau menjadi dasar bangunan kehidupan mereka. Adat biasanya dipahami sebagai suatu kebiasaan setempat yang mengatur interaksi masyarakat dalam suatu komunitas, dan dibeberapa tempat masih ada juga surau-surau yang bertindak sebagai sekolah agama dalam bentuk yang sama dengan pesantren dijawa. Menurut DR. Muchtar Naim (Amir M.S, h.61) Adat Minangkabau sebelum bersentuhan dengan Islam adalah adat yang praktis, tidak mengenal ajaran kosmologi-okultisme, yaitu pengetahuan tentang asal usul kejadian bumi, serta kejadian tentang kekuatan gaib. Berdasarkan hal ini pula Hamka (1967, h.22) menyimpulkan bahwa sulit memisahkan antara adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau.


BAB III
PEMBAHASAN
3.1  Asal-usul Nama Minangkabau 
            Nama “Urang Minang”, merupakan sebutan yang biasa digunakan untuk menunjukkan identitas masyarakat minangkabau dan mendiami sebagian besar wilayah propinsi Sumatera Barat. Daerah aslinya merupakan tiga kesatuan wilayah adat yang disebut luhak nan tigo (wilayah yang tiga), yaitu : Luhak Agam, Luhak Limapuluh Koto, dan Luhak Tanah Datar.
            Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang (menang) dan kabau (kerbau). Nama itu berasal dari sebuah legenda. Konon pada abad ke-13, kerajaan Singasari melakukan ekspedisi ke Minangkabau. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan untuk mengadu kerbau Minang dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit menyetujui usul tersebut dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat Minang menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik perutnya, karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak menyusui. Kecemerlangan masyarakat Minang tersebutlah yang menjadi inspirasi nama Minangkabau.
            Selain itu asal-usul nama minangkabau juga sangat beragam, tetapi berdasarkan tambo, nama itu berasal dari peristiwa kemenangan orang Minangkabau dalam adu kerbau dengan orang-orang kerajaan Majapahit yang ingin merebut wilayah ini (Gusdiasdial). Masyarakat minangkabau merupakan salah satu masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat istiadat mereka. Sistem kekerabatan matrilinial merupakan salah satu pembeda dengan suku bangsa lain yang terdapat di Indonesia.
3.2 Mengenai Nenek Moyang Masyarakat Minangkabau
            Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain. Menurut sejarah, Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun 336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.
            Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya. Tokoh Iskandar Zulkarnain dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin, Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja merupakan seorang tokoh legendaris. Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan para penguasa di Minangkabau.
            Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya. Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncakGunung Merapi. Hal ini tidak dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak langsung”. Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang waktunya sangat lama.
            Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu sendiri.
3.3 Kehidupan Masyarakat Minangkabau
            Suku Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnis di Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat, yaitu Kota Padang. Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.
            Masyarakat Minangkabau dipahami sebagai sekelompok orang (etnis) yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur, mempunyai aturan-aturan hidup tersendiri (way of life) dalam membentuk karakteristik etnisnya. Adat dan budayanya bercorak keibuan (matrilineal), mempunyai sistem perkawinan, sistem pemerintahan, kesenian, bahasa dan budaya yang khas dan keberagamaan yang kuat. Oleh sebab itu, masayarakat Minangkabau terkenal sebagai masyarakat adat yang sangat menjunjung nilai-nilai keislaman, sesuai dengan falsafah Minangkabau “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang jadi Guru”. Kebebasan beragama mengandung arti setiap individu secara asasi mempunyai hak untuk menyakini akan keberadaan sang Pencipta. Karena manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga, dan sumber yang luar biasa itu diberi penamamaan sesuai dengan bahasa manusianya sendiri, seperti Tuhan, Dewa, God, Shang-ti, Kami-Sama dan lain-lain. Kebebasan beragama di Indonesia mengacu pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Pada pertengahan abad ke-7 M, agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun, pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau.
           
3.3.1 Kehidupan Masyarakat Pedagang Minagkabau
            Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di perantauan. Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah menjejakan kakinya sejak abad ke-7. Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Pedagang Minang banyak menjual hasil bumi seperti lada, yang mereka bawa dari pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Indragiri, dan Batang Hari. Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Di sepanjang pantai barat Sumatra, para pedagang ini membuka pos-pos perdagangannya di kota-kota utama dari Aceh hingga Bengkulu, seperti Meulaboh, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, dan Bengkulu.
            Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh. Munculnya kaum Paderi di Sumatera Barat pada akhir abad ke-18, merupakan kebang kitan kembali pedagang Minangkabau yang dirintis oleh para ulama Wahabi. Pedagang ini kembali men dapatkan ancaman dari Kolonial Hindia Belanda sejak dibukanya pos perdagangan Belanda di Padang. Perang Paderi yang berlangsung selama 30 tahun lebih telah meluluhlantakan perdagangan Minang-kabau sekaligus penguasaan wilayah ini dibawah kolonial Hindia-Belanda.Di tahun 1950-an, banyak pedagang Minangkabau yang sukses berbisnis diantaranya Hasyim Ning, Rahman Tamin, Agus Musin Dasaad, dan Sidi Tando. Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau. Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu,  terutama masalah pinjaman modal  di bank serta pengurusan ijin usaha.
Jenis-Jenis Usaha Masyarkat Minang
1. Restoran
            Usaha rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh pedagang Minang. Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan restoran Padang tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, bahkan hingga ke Malaysia dan Singapura. Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang memiliki ciri khas dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari daerah tertentu. Pedagang asal Kapau, Agam biasanya menjual nasi ramas yang dikenal dengan Nasi Kapau. Pedagang Pariaman banyak yang menjual Sate Padang. Sedangkan pedagang asal Kubang, Lima Puluh Kota menjadi penjual martabak, dengan merek dagangnya Martabak Kubang. Restoran Sederhana yang dirintis oleh Bustamam menjadi jaringan restoran Padang terbesar dengan lebih dari 60 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Di Malaysia, Restoran Sari Ratu yang didirikan oleh Junaidi bin Jaba, salah satu restoran Padang yang sukses.
2. Tekstil
            Di pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau banyak yang menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang Minangkabau mendominasi pusat-pusat perdagangan tradi-sional, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jatinegara,dan Pasar Bendungan Hilir. Dominansi pedagang tekstil Minangkabau juga terjadi di Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang Minangkabau mendominasi Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di Surabaya, pedagang
Tekstil asal Minang banyak dijumpai di Pasar Turi Surabaya.
3. Kerajinan
            Orang Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para pedagang ini banyak yang menggeluti kerajinan perak, emas, dan sepatu. Kebanyakan dari mereka berasal dari Silungkang, Sawahlunto dan Pandai Sikek, Tanah Datar. Disamping juga banyak yang menggeluti usaha jual-beli barang-barang antik, dimana usaha ini biasanya digeluti oleh pedagang asal Sungai Puar, Agam. Pedagang barang antik Minangkabau banyak ditemui di
Cikini Jakarta Pusat dan Ciputat, Tangerang Selatan.
4. Percetakan
            Bisnis percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh pedagang Minang. Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan undangan dan buku. Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi usaha penerbitan buku dan toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti oleh pedagang asal Sulit Air, Solok. Salah satu tokoh sukses yang menggeluti bisnis percetakan ini ialah H.M Arbie yang berbasis di kota Medan.
5. Hotel dan Travel
            Bisnis pariwisata terutama jaringan perhotelan dan travel juga banyak digeluti oleh pengusaha Minangkabau. Di Jakarta, jaringan Hotel Grand Menteng merupakan jaringan bisnis hotel terbesar milik orang Minang.
6. Pendidikan
            Bisnis pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini biasanya digeluti oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada sekolah negeri atau swasta. Dari pengalaman tersebut, mereka bisa mengembangkan sekolah, universitas, atau tempat kursus sendiri yang akhirnya berkem-bang secara profesional. Di Jakarta, setidaknya terdapat tiga universitas milik orang Minang, yaitu Universitas Jayabaya, Universitas Persada Indonesia YAI,
dan Universitas Borobudur
7. Media
            Bakat menulis dan ilmu jurnalistik yang dimiliki oleh orang Minang, telah melahirkan beberapa perusahaan media besar di Indonesia. Antara lain ialah koran Oetoesan Melajoe yang didirikan oleh Sutan Maharaja pada tahun 1915, majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Hamka, koran Pedoman yang didirikan oleh Rosihan Anwar, koran Waspada yang didirikan oleh Ani Idrus, majalah Kartini yang didirikan oleh Lukman Umar, majalah Femina yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, dan jaringan televisi TV One yang didirikan oleh  Abdul Latief.
8. Keuangan
            Bisnis di industri keuangan, seperti perbankan, sekuritas, dan asuransi juga merupakan pilihan bagi pengusaha Minang. Bahkan pengusaha Minang, Sutan Sjahsam yang juga adik perdana menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia. Sjahsam juga seorang pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas, Perdanas. Disamping Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas dengan mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis perbankan, ada pengusaha Minang lainnya, Anwar Sutan Saidi, yang mendirikan Bank Nasional pada tahun 1930. Silaturahmi pedagang Untuk membangun jaringan dan silaturahmi antar pedagang Minangkabau, maka diadakanlah pertemuan yang dikenal dengan Silaturahmi Saudagar Minang. Silaturahmi ini pertama kali diadakan di Padang pada tahun 2007 yang dihadiri tak kurang dari 700 pengusaha Minang dari seluruh dunia.

3.3.2 Kebudayaan Masyarakat Minangkabau
1. Tradisi Merantau
            Salah satu kebudayaan yang menarik dari masyarakat DiMinangkabau Sumatera Barat adalah Tradisi Merantau. Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Migrasi besar-besaran pertama terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang mendirikan koloni-koloni dagang, seperti di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.
            Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kesultanan Riau-Lingga. Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, terutama Jakarta. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
A.                Perantau Intelektual
            Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni, dan menjadi penyokong kuat gerakan Paderi di Minangkabau. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, dan Muhammad Jamil Jambek. Banyak perantau Minang yang menetap dan sukses di Mekkah, diantara mereka ialah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Mesjid Al-Haram Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.
            Beberapa faktor yang mengakibatkan masyarakat Minangkabau merantau kenusantara dan sampai kebeberapa negara tetangga yang sampai sekarang sudah menjadi bagian dari tradisi.
1. Faktor Budaya
            Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan. Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sendari muda.
2. Faktor Ekonomi
            Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang men-jadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama,karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemu-dian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedata-ngan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
            Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya di rantau, namun ada sesuatu hal yang unik dan selalu menjadi ciri khas mereka. Yakni kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini mungkin sesuatu yang umum saja, seperti ucapan ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunyaRasjid – 70: “On two things in life you cannot be objective: first, the love to your mother; secondly, the love to your country where you have been born” (Dalam dua hal Anda tak bisa objektif:  pertama, cinta kepada ibumu; kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu).
            Dalam kedua hal itu, barangkali orang Minang jauh melebihi apa yang dipikirkan Einstein. Sebagai masyarakat penganut matrilial (keturunan menurut garis ibu), jelas mereka mempunyai rasa cinta yang sangat besar kepada ibu yang melahirkannya. Demikian pula dalam hal mencintai tanah kelahiran atau kampung halamannya, orang Minang pun sangat menonjol, tak obah mencintai ibunya sendiri. Bahkan, orang (keturunan) Minang yang lahir di rantau pun tetap mencintai dan peduli dengan negeri ini sebagaimana kita lihat pada diri mayoritas penduduk Negeri Sembilan di Malaysia yang  tanpa ragu menyatakan bahwa mereka adalah penganut “Adat Perpatih” (adat Minang). Kecintaan kepada kampung halaman mereka ditunjukkan, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, kepedulian yang tinggi kepada negeri asal dan adat-budayanya. Kedua, di mana tempat mereka berada, mereka membangun ikatan-ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se-nagari asal, se-kabupaten, atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.
            Di rantau mereka tetap mempertahankan jati diri sebagai orang Minang yang menganut “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Mereka tetap setia memelihara budaya, adat istiadat, tradisi, dan kesenian daerah asal mereka. Bahkan sudah tradisi, hampir setiap tahun bersamaan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri, mereka mengadakan halalbihalal dan mengundang gubernur, bupati atau walikota dari Sumatera Barat untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Ketika menghadiri kegiatan-kegiatan orang Minang di rantau itu, biasanya penyambutannya sangat meriah –ada tari pasambahan, siriah di carano, pertunjukan tari dan lagu-lagu Minang. Dan biasanya sangat ramai. Ini sejalan dengan ungkapan, sejmauh-jauh merantau, adat Minang tetap digungguang dibaok tabang.
            Meskipun tinggal jauh di rantau, mereka sangat peduli dengan perkembangan dan selalu mengikuti setiap informasi dari kampung. Mereka juga selalu pula ‘gatal’ untuk menyampaikan aspirasi bahkan unek-unek bagi kemajuan daerahnya. Karena itulah, kalau Gubernur Sumatera Barat datang ke daerah di mana banyak perantau Minang, mereka akan selalu minta mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan seperti itu, yang dihadiri gubernur, terlihat sekali betapa setiap perantau sangat peduli kepada nagari asalnya, tak peduli apa kedudukan dan kelas sosialnya. Pejabat tinggi, pengusaha besar, ataupun orang tenama yang sudah berkelas internasional sekalipun, kalau bicara tentang nagari-nya selalu bersemangat bahkan berapi-api bicaranya. Setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh-jauh merantau, kampung halaman terbayang jua. Sehabat-hebatnya orang Minang di rantau, setinggi apapun jabatan dan kedudukannya, mereka tetap saja memerlukan pengakuan dan eksistensi di kampung halaman atau negeri asalnya. Mereka yang umumnya punya status sosial tinggi, kaya dan berpangkat, sering tak bisa menahan diri untuk terlibat bahkan terkesan ‘intervensi’ sampai ke soal-soal politik dan pemerintahan di kampungnya. Misalnya, mereka merasa perlu ikut  menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur Sumatera Barat, atau yang akan menjadi bupati, walikota, bahkan wali nagari di daerah asalnya. Memang unik. Mereka tidak ber-KTP Sumatera Barat, tetapi merasa bertanggung jawab untuk ikut mengambil keputusan soal politik dan pemerintahan hingga ke tingkat nagari dan jorong.
3.3.3 Sistem Matrilinial
            Menurut para ahli antropologi tua pada abad 19 seperti J. Lublock, G.A. Wilken dan sebagainya, manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok keluarga batih (Nuclear Family) yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak seperti sekarang belum ada. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara “ibu dan anak-anaknya” sebagai satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih “ibu dan anak-anaknya” ini, si Ibulah yang menjadi Kepala Keluarga. Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan “adat eksogami”. Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat.
            Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena “garis keturunan” selalu diperhitungkan menurut “Garis Ibu”, dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat“matriarchat” . Istilah “matriarchat” yang berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem “ibu yang berkuasa” itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis “matrilinial”. Jadi dalam sistem kekerabatan “matrilinial” terdapat 3 unsur yang paling dominan : 
§     Garis keturunan “menurut garis ibu”.
§     Perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial.
§     Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga.
3.3.4 Rumah Gadang Sebagai Artefak Kebudayaan
            Seperti yang telah dijabarkan diatas, masyarakat minangkabau merupakan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, yaitu garis keturunan menurut ibu. Sebagai masyarakat yang menganut sistem matrilineal, maka sistem suku pun juga menurut ibu, jadi apabila ibu memiliki suku Piliang maka secara turun temurun, anak-anak pada keluarga tersebut juga memiliki suku yang sama dengan ibunya. Rumah gadang sebagai tempat tinggal bersama bagi masyarakat minangkabau yang hidup menganut sistem kekerabatan matrilinial (menurut garis keturunan ibu) kaum perempuan mendapat kedudukan dan tempat yang istimewa pada rumah gadang.
            Setiap wanita yang bersuami akan memperoleh satu kamar, sedangkan perempuan termuda mendapat kamar terujung yang kemudian akan pindah jika telah memiliki suami nantinya. Anak laki-laki tidak memiliki tempat pada rumah gadang ini, sejak dari dahulunya anak-laki yang mulai beranjak dewasa akan tinggal pada surau-surau keluarga atau pergi merantau keluar dari kampungnya. Rumah gadang bagi masyarakat minangkabau selain berfungsi sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai lambang eksistensi suatu kaum. Fungsi lain dari rumah gadang ini adalah sebagai tempat bermusyawarah bermufakat dan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara-upacara adat Secara garis besar, ruang dalam suatu rumah gadang dapat kita kategorikan ke dalam 4 zoning utama. Penzoningan ini didasarkan kepada hirarki ruang yang terdapat pada rumah gadang itu sendiri, yaitu :
1.      Publik, yaitu ruang tamu atau ruang bersama yang merupakan sebuah ruangan lepas tanpa adanya pembatasan apapun.
2.      Semi Privat, yaitu ruang peralihan seperti bandua yang terdapat didepan kamar tidur serta anjuang (ruang khusus) yang terdapat pada bagian ujung-ujung rumah gadang yang dapat kita temukan pada beberapa jenis rumah gadang.
3.      Privat, yaitu kamar-kamar tidur yang terdapat di dalam rumah gadang yang dahulunya berdasarkan kepada jumlah anak gadis yang dimiliki oleh sipemilik rumah.
4.      Servis, yaitu dapur yang pada dahulunya merupakan dapur tradisional yang masih
menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya.
Beberapa karakteristik dari arsitektur rumah gadang yaitu:
1.      Tingkat atau derajat kespesifikan budaya atau tempat
            Rumah gadang merupakan bangunan khas daerah Sumatera Barat, seperti yang tertulis pada buku Rumah Gadang Arsitektur Tradisional Minangkabau, bahwa arsitektur bangunan rumah gadang merupakan peninggalan tidak tertulis yang sampai pada kita, yang merupakan ciri dari kebesaran kebudayaan minangkabau masa lalu. Betapapun perubahan itu terjadi, namun arsitektur bangunan rumah gadang yang dapat kita saksikan sekarang adalah merupakan  pengaruh laggam bangunan masa lampau. Model, denah, morfologi dan spesifikasi bangunan, hubungan antar elemen serta kompleksitas bangunan berdasarkan tempat dimana sebuah bangunan tersebut berada. Secara garis besar model rumah gadang terbagi atas dua kelompok besar yang dibagi berdasarkan kepada dua kelarasan atau hukum adat yang berlaku didalam masyarakat minangkabau.
2.      Kedua system kelarasan itu adalah :
            System kelarasan koto piliang, ciri dari model rumah gadang yang menggunakan sistem kelarasan Koto Piliang ini adalah memiliki anjuang yang terdapat pada bagian kiri dan bangunan. Anjungan merupakan tempat terhormat didalam suatu rumah gadang yang ditinggikan beberapa puluh sentimeter dari permukaan lantai bangunan.
            System kelarasan Bodi Caniago, sedangkan pada rumah gadang yang menggunakan sistem kelarasan Bodi Caniago tidak mengenal istilah anjuang. Jadi bagian lantai rumah gadang mulai dasri bagian ujung sampai pangkal mempunyai ketinggian lantai yang sama.
3.4 Pendidikan Di Minangkabau
            Beberapa waktu terakhir ini ada sebuah lokakarya dosen, sungguh sangat mengagumkan pakar pendidikan di Indonesia dengan mahir memperkenalkan kurikulum berbasis komptensi, yang sejarahnya dari CBSA, sampai kepada SCL, dengan basis filosofi dunia pendidikan barat postmodern, yakni konstruktivisme.
            Tidak satu pun dalam lokakarya itu dirujuk filosofi dan metodologi pendidikan dari budaya sendiri. Mengherankan, apakah generasi kita akan dididik dengan filosofi, epistemologi, serta metodologi barat? Kemudian tetap menganggap budaya sendiri sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, tidak pantas di bawa ke tengah dunia modern. Di samping itu metodologi pendidikan surau adalah halaqa, yakni belajar berkelompok, diskusi, dan berdebat. Dengan demikian budaya pendidikan Minangkabau adalah berbasis demokrat (demokrat adalah paradigma yang lebih tepat untuk SCL), egaliter, dan kosmopolitan. Inilah inti paradigma budaya pendidikan di Minangkabau, yang dirobohkan setelah masuknya dunia sekolah. Pendidikan di Minangkabau bedasarkan kepada kecerdasan emosional dan spiritual sebagaimana yang disebut dan trandi pada masa kini.
            Di Sumatera Barat, seperti juga halnya dengan daerah-daeerah lain di Indonesia didirikan tiga macam sekolah menurut cara penerimaan muridnya. Pertama, adalah Sekolah Desa Nagari, Sekolah Kelas II, Sekolah Kelas I yang disediakan bagi rakyat biasa.  Kedua adalah sekolah yang menerima murid anak-anak para bangsawan, pegawai  pegawai sipil pada pemerintahan Belanda, orang kaya. Sekolah yang demikian anatara lain adalah HIS,Muloo, ams, Kweekschool dan sebagainya. Adakalanya pada sekolah ini juga menerima anak-anak Belanda. Ketiga adalah sekolah yang hanya menerima anak-anak orang eropa. sekolah ini dinamakan Europeesche School, Sampai abad 19 di Sumatera Barat belum terdapat sekolah tinggi.  Pendidikan berdasarkan paradigma kebudayaan Minangkabau bukanlah dalam pengertian harfiah atau materi, tetapi substansi. Degan pengertian pendidikan berdasarkan dari budaya sendiri, sehingga akan tumbuh rasa percaya diri, harga diri, identitas jati diri. Walapun begitu, sepertinya pendidikan berdasarkan paradigma kebudayaan Minangkabau akan masih tetap jadi impian
            Perempuan di Minangkabau sudah lama menyadari bahwa hanya dengan jalan pendidikanlah keddukan dan peran perempuan dapat ditingkatkan dalam keluarga dan masyarakat. Jika di Pulau Jawa, RA Kartini memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan melalui pendidikan, di Minangkabau juga terdapat tokoh permpuan Minangkabau yang berpikir memajukan kaumnya melalui pendidikan khusus  kaum hawa, yaitu Rahmah El Yunusiyah. Rahmah El Yunisiyyah, yang bercita-cita memperbaiki kedudukan kaum perempuan melalui pendidikan modern berda-sarkan prinsip agama. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, maka pada 1 November 1923, Rahmah mendirikan perguruan khusus perempuan, yaitu Diniyah Puteri School Padang panjang. Tujuannya adalah membentuk putri berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap,aktif dan ber-tanggung jawab tentang kesejahteraan keluarga masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah SWT.
               Sebagai seorang perempuan Rahmah telah memperlihatkan bahwa kaum hawa pantas diperhi-tungkan dan dapat berkarya seperti layaknya laki-laki. Ia memberikan  pelajaran berharga kepada perempuan-perempuan Indonesia khususnya perempuan Minang tentang pelajaran hidup dan pentingnya mengecap pendidikan bagi kaumnya. Pola pikir masyarakat Minang selama ini masih sangat primitif karena masih beranggapan “Ndak usah sekolah tinggi-tinggi besok ka dapua juo.” Pemikiran seperti ini sampai sekarang masih melekat di benak sebagian masyarakat kita dewasa ini. Tapi Rahmah telah membawa suatu angin perubahan bagi perkembangan perempuan dalam rangka mensejajarkannya dengan laki-laki.
3.5 Keagamaan Dalam Masyarakat Minangkabau
               Menurut tradisi orang Melayu adapun agama Islam mula-mula sekali msik di Ulkam yang terletak di pesisir, dibawa masuk oleh seorang yang bernama Burhanuddin murid dari “Sech Abdullah Arief van Atjin”. Sebagai komunitas budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan agama, tidak berlebihan jika masyarakat Minangkabau dikatakan masyarakat yang religius. Ketika ada seorang Minangkabau yang tidak menganut agama islam, maka hal itu adalh suatu keganjilan yang mengherankan, walaupun kebanyakan dari orang minangkabau mungkin menganut agama itu secara nominal saja, tanpa melakukan ibadahnya. Religiusitas masyarakat Minangkabau tercermin dalam petatah, petitih, mamangan, petuah, yang dipakai dalam bebagai rangkaian kegiatan ke-adatan. Falsafah Adat Basandi Syarak Basandi Kitabullah memberi format yang jelas akan identitas masyarakat Minangkabau. Menurut De Josselin de Jong PE (1995, h.85), secara kultural orang Minang selalu menjadikanAdat Alam Minangkabau menjadi dasar bangunan kehidupan mereka. Adat biasanya dipahami sebagai suatu kebiasaan setempat yang mengatur interaksi masyarakat dalam suatu komunitas, dan dibeberapa tempat masih ada juga surau-surau yang bertindak sebagai sekolah agama dalam bentuk yang sama dengan pesantren dijawa. Pelajarna agama di tempat itu diadakan di bawah pimpinan seorang tuanku, atau syekh yang sama kyai di jawa.
            Jauh sebelum Islam datang ke ranah Minang, masyarakat Minangkabau sudah mempunyai tata nilai, aturan hidup (way of life) yang jelas. Adat sebagai doktrin sosial masyarakat Minangkabau berlaku universal. Sebagaimana petatah minang, Jikok dibalun sabalun kuku (Seandainya digumpal sekecil kuku), Jikok dikambang saleba alam (Kalau digelar selebar alam), Walau sagadang bijo labu (Walau sebesar biji labu), Bumi jo langik ado di dalam (Bumi dan langit ada di dalam). Islam datang ke Minangkabau membawa perubahan budaya. Akulturasi Islam dan adat terjadi bukan tanpa perjuangan. Perang Padri menjadi bukti sejarah bahwa Islam sebenarnya dapat diterima di komunitas budaya Minangkabau tanpa harus mengubah tatanan yang telah mapan.
            Sebelum kedatangan Islam, bahkan sebelum masuknya Buddha dan Hindu ke wilayah Minangkabau, sesungguhnya masyarakat Minangkabau telah mempunyai peradaban. Pada masa-masa awal, masyarakat Minangkabau menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan dasar dari falsafahnya. Menurut DR. Muchtar Naim (Amir M.S, h.61) Adat Minangkabau sebelum bersentuhan dengan Islam adalah adat yang praktis, tidak mengenal ajaran kosmologi-okultisme, yaitu pengetahuan tentang asal usul kejadian bumi, serta kejadian tentang kekuatan gaib. Bahkan, mereka tidak mengenal ajaran “spiritisme-animisme” apa pun. Ajaran tentang “spiritisme-animisme” adalah ajaran yang berhubungan dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan kepercayaan bahwa benda-benda alam seperti pohon, gua, gunung dan lain-lain mempunyai roh. Kalau diperhatikan, kebudayaan Hindu-Buddha dan Jawa-Hindu yang pernah masuk ke Minangkabau ternyata lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bukti-bukti yang berarti.
               Nenek moyang orang Minang, secara tidak langsung telah menjadikan “sunatullah” yang terdapat dalam alam ini sebagai dasar adat Minangkabau. Apa yang terjadi di alam dijadikan sebagai guru atau i’tibar bagi kehidupan. Oleh sebab itu, dibuatlah ketentuan alam berupa petatah petitih, misalnya: api panas dan membakar, air membasahi dan menyuburkan, kayu berpokok, berdahan, berdaun, berbunga dan berbuah, lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing mengembek, harimau mengaum. Minangkabau yang Islami. Itulah sebabnya muncul pandangan bahwa tidak ada masyarakat Minangkabau yang non Muslim. Berdasarkan hal ini pula Hamka (1967, h.22) menyimpulkan bahwa sulit memisahkan antara adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau.

BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            Masyarakat Minangkabau telah dikenal berabad-abad yang lalu sebagai komunitas budaya yang sangat menjunjung tinggi norma-norma keadatan. Sebagai masyarakat adat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan falsafah alam, masyarakat Minang menjadikan adat sebagai dasar pijakan yang kuat terkait nilai-nilai kehidupan. Aturan-aturan yang di buat dan diterapkan di institusi adat merupakan kesepakat bersama. Masyarakat minangkabau adalah masyarakat yang berbudaya, tidak adanya satu kegiatanpun dalam keseharian masyarakat minangkabau yang terlepas dari adat istiadat yang mereka pegang teguh selama ini.
            Sistem kekerabatan matrilinial yang meraka anut selama juga memberikan dampak serta pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat masyarakat minangkabau sampai saat ini. Rumah gadang, yang merupakan salah satu artefak kebudayaan minangkabau juga banyak dipengaruhi oleh sistem matrilinial tersebut. Rumah gadang merupakan salah satu bentuk dari hasil kebudayaan masyarakat minangkabau yang betul-betul lahir atas konsekuensi sistem matrilinial yang dianut oleh masyarakat minangkabau. Salah satunya secara jelas dapat kita lihat pada setting ruang dalam rumah gadang, seperti sistem penggunaan kamar serta tidak adanya tempat bagi anak laki-laki mereka pada rumah gadang tersebut.
            Di Sumatera Barat, didirikan tiga macam sekolah menurut cara penerimaan muridnya. Pertama, Sekolah Desa Nagari, Sekolah Kelas II, Sekolah Kelas I yang disediakan bagi rakyat biasa.  Kedua adalah sekolah yang menerima murid anak-anak para bangsawan, pegawai  pegawai sipil pada pemerintahan Belanda, orang kaya. Sekolah yang demikian anatara lain adalah HIS,Muloo, ams, Kweekschool dan sebagainya. Ketiga adalah sekolah yang hanya menerima anak-anak orang eropa. sekolah ini dinamakan Europeesche School, Sampai abad 19 di Sumatera Barat belum terdapat sekolah tinggi.
            Minangkabau dikatakan masyarakat yang religius. Ketika ada seorang Minangkabau yang tidak menganut agama islam, maka hal itu adalh suatu keganjilan.Religiusitas masyarakat Minangkabau tercermin dalam petatah, petitih, mamangan, petuah, yang dipakai dalam bebagai rangkaian kegiatan ke-adatan. Falsafah Adat Basandi Syarak Basandi Kitabullah memberi format yang jelas akan identitas masyarakat Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA

ü  Abdullah.Taufik.1996.Sejarah Lokal Di Indonesia
ü  Koentjaraningarat.2002.MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA
ü  …1982.SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL DAERAH SUMATERA BARAT
ü  Abiding.Mas’oed.2011.Artikel. Adat dan Agama Islam Menjadi Utama dalam Sisitim Kepemimpinan di Sumatera Barat yang Beradat Minangkabau. Terdapat di: http://www. cimbuak.net/content/view/1794/46/. Diakses pada tanggal 20 mei 2011.
ü  Febrianto.Ari.2010.Artikel. Rahmah dan Pendidikan di Minangkabau. Terdapat di:http://www .gudangmateri.com/2010/04/masyarakat-minangkabau.html. diakses pada tanggal 20 mei 2011.
ü  Kayo.S.M.Fadillah.2011.Artikel.Filosofi Pendidikan Minangkabau. Terdapat di: http:// fadlillah.wordpress.com/filosofi-pendidikan-minangkabau/. Diakses pada tanggal 20 mei 2011.
ü  Adnan.Arisma.2001.Artikel.Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minan. Terdapat di: http://www.mail-archive.com/rantau-net@rantaunet.com/msg06101.html. diakses pada tanggal 2011.
ü  …,2009.Dinamika Dua Kelarasan dalam Masyarakat Minangkabau.Terdapat di: http:// mozaikminang.wordpress.com/2009/10/25/dinamika-dua-kelarasan-dalam-masyarakat-minangkabau/.  Diakses  pada tanggal 20 mei 2011.
ü  Ismail.Zubir.2011.Artikel. Religiusitas Masyarakat Minangkabau dan Kebebasan Beragama/HAM Pasca UU Otonomi Daerah No 22 Tahun 1999. Terdapat di:  http://agama.kompasiana.com/2011/01/21/r eligiusitas-masyarakat-minangkabau-dan-kebebasan-beragamaham-pasca-uu-otonomi-daerah-no-22-tahun-1999/. Diakses pada tanggall 20 mei 2011.


1 komentar:

  1. Makasih gan udah share , blog ini sangat bermanfaat sekali .............




    bisnistiket.co.id

    BalasHapus